Written by 7:20 pm CONSOLE GAMES, NEWS, PC GAMES, REVIEW

Dragon Quest I & II HD‑2D Remake — Saat Nostalgia dan Modernitas Berdamai

Dari Game 8‑bit ke Epic JRPG Bergaya Sinematik

Beberapa hal di dunia gaming bisa bikin gamer senyum tanpa disuruh, dan Dragon Quest I & II HD‑2D Remake salah satunya. Game klasik ini bukan cuma nostalgic trip buat gamer tua, tapi juga jendela waktu buat generasi baru yang belum pernah ngerasain sensasi RPG Jepang di masa keemasannya.

Dirilis global 30 Oktober 2025, remake ini datang dalam format satu paket berisi dua judul legendaris: Dragon Quest I (1986) dan Dragon Quest II (1987). Square Enix ngasih mereka makeover total lewat HD‑2D engine yang memadukan sentuhan pixel art retro dengan pencahayaan sinematik modern. Gaya ini sama seperti yang mereka pakai untuk Octopath Traveler dan Triangle Strategy, tapi kali ini kemasannya jauh lebih emosional.

Kalau kamu sempat main versi lamanya di NES, remake ini akan terasa kayak ketemu teman lama yang masih punya senyum sama, tapi pakai baju baru yang keren. Tampilan dunianya berwarna, detail, dan meledak nostalgia. Tapi yang bikin banyak gamer speechless bukan cuma tampilannya—melainkan faktanya bahwa dua game sederhana 8‑bit ini berhasil dibawa hidup lagi tanpa kehilangan semangat aslinya.

Preview di Tokyo Game Show 2025 dan Gamescom 2025 sempat bikin antrean panjang, dan para reviewer yang sempat nyicip bilang hal yang sama: “This is the definitive way to experience Dragon Quest.” Bahkan IGN menyebut remake ini sebagai “bukti bahwa filosofi RPG lama masih bisa relevan tanpa kehilangan pesonanya”.

Dan ya, hype‑nya nggak berlebihan. Begitu main, kamu akan langsung ngerasain aroma RPG klasik—petualangan sendirian, kota kecil dengan NPC cerewet, dan lagu pembuka Overture yang masih jadi soundtrack wajib di konser game Jepang. Tapi di bawah semua estetika itu, ada hal lain yang bikin remake ini istimewa: rasa hangat yang jarang muncul di game modern.

Membongkar Keajaiban HD‑2D: Retro yang Nggak Usang

Mari bahas satu hal dulu: Dragon Quest I & II HD‑2D Remake bukan sekadar remaster, tapi reimaginasi total. Visualnya mungkin bikin kamu nostalgia, tapi sistem di dalamnya dirancang ulang biar relevan buat player modern.

Tim Artdink dan produser Masaaki Hayasaka sadar, kalau dua game ini dibawa mentah‑mentah, pemain zaman sekarang bakalan geleng kepala. Jadi mereka ngasih polesan cerdas: navigasi lebih mudah, map interaktif, quest marker lembut (tanpa over‑handholding), dan sistem auto‑battle yang bisa kamu aktif‑matikan sesuka hati. Semua itu ngasih rasa “modern convenience,” tapi tetap mempertahankan kesunyian khas JRPG lama.

Visualnya gila. Bayangin dunia kotak‑kotak tapi hidup kayak mural lukisan. Kota Tantagel di DQ I dan Moonbrooke di DQ II kelihatan hangat karena efek pantulan cahaya dari rumah‑rumah NPC. Airnya shimmer, kabut malamnya punya tekstur, dan monster kayak Slime atau Dracky kelihatan jauh lebih ekspresif. Di layar Nintendo Switch 2, game ini jalan stabil di 60 FPS, sesuatu yang mustahil buat RPG klasik 30 tahun lalu.

Bahkan audio diaransir ulang penuh orkestra. Overture Theme yang dulu berbentuk MIDI sederhana kini dimainkan oleh Tokyo Symphony Orchestra, lengkap dengan harmoni besar pas boss fight. Di satu titik, kamu bisa denger crescendo brilian pas melawan Dragonlord—dan ya, itu bikin merinding.

Gameplay‑nya? Masih turn‑based khas Dragon Quest, tapi ada lapisan taktik baru. Di DQ I kamu main solo, sementara di DQ II kamu punya party lengkap tiga karakter dengan class system fleksibel. Sistem buff dan debuff‑nya diperluas biar pertarungan terasa padat tanpa bikin frustasi. Buat gamer lama, ini kayak nostalgia yang dikasih tenaga baru. Buat gamer baru, ini pintu terbaik buat masuk ke dunia JRPG klasik tanpa tersandung pacing lambat.

Bahkan komunitas Reddit dan Discord Dragon Quest sepakat: remake ini adalah “love letter paling jujur” dari Square Enix ke era 8‑bit. Banyak yang bilang, ini game yang bisa bikin mereka ngajarin anaknya main RPG—bukan soal quest besar selamatin dunia, tapi soal kenangan bikin karakter naik level bar demi bar.

Dan secara teknikal, remake ini juga berani tampil sederhana di era penuh RPG bombastis. Nggak ada map open‑world 100 km², nggak ada cutscene 4K 20 menit. Tapi setiap sudutnya punya makna—dari obrolan NPC nyeleneh yang bilang “aku cuma padi digital,” sampai anjing kecil yang gampang kamu abaikan tapi nyimpen petunjuk rahasia. Inilah jenis world‑building yang diam‑diam nyantol di taman pikiran gamer sampai lama.

Kenapa Dragon Quest Masih Punya Tempat di Generasi Z

Ada banyak RPG jaman now yang lebih cepat, lebih keren, dan jelas lebih kompleks. Tapi kenapa Dragon Quest I & II HD‑2D Remake bisa trending di 2025 sekaligus bersanding dengan StarfieldFFXIV: Dawntrail, dan Persona 6? Jawabannya sederhana: kejujuran.

Game ini jujur dengan dirinya sendiri. Nggak berusaha jadi sinema interaktif, nggak pura‑pura edgy. Ia tahu kekuatannya ada di storytelling yang lurus, karakter yang tulus, dan dunia sederhana tapi magis. Setiap NPC bukan sekadar pengisi ruang; mereka kayak cermin kecil yang ngasih komentar atas dunia. Dari ksatria pensiun yang bilang hidupnya nggak pernah tenang, sampai pendeta yang ngeluh bikin potion sehari penuh—detail kecil itu justru bikin dunia Dragon Quest terasa nyata.

Pun secara filosofis, Dragon Quest selalu punya aura optimistis. Dalam perjalanan melawan monster, selalu ada momen refleksi ringan—“keberanian itu bukan asal nekat, tapi bertahan walau sendirian.” Kutipan sederhana ini berasa kuat di era modern, di mana gamer dibombardir drama eksistensial dan moral ambiguity di tiap game.​

Dan lucunya, walau sederhana, banyak streamer muda yang ngaku jatuh cinta sama kejujuran ini. Di TikTok, tagar #DragonQuestHD2D udah nembus jutaan views. Klip lucu dari dialog NPC, remake soundtrack, sampai reaction “momen nangis pas ending” rame banget. Tiba‑tiba, game 30‑tahun jadi tren lagi di kalangan anak 18‑20 tahun—fenomena yang mustahil dilakukan franchise lain tanpa kehilangan identitas.

Square Enix pintar: mereka nggak jual nostalgia, tapi menjadikan nostalgia itu platform belajar. Lewat Dragon Quest I & II HD‑2D Remake, mereka nunjukin bahwa sejarah genre ini masih bisa hidup, asal disentuh dengan cinta dan rasa hormat.

Buat gamer baru, ini bukan “game lama yang dihidupkan ulang.” Ini buku sejarah yang bisa dimainkan, tanpa terasa kayak pelajaran. Dan di tengah hiruk‑pikuk RPG modern yang serba kompleks, kehadiran game kayak gini kayak secangkir teh panas di sore hujan—pelan, tapi menghangatkan.

Karena kadang, kamu nggak butuh keajaiban besar buat bahagia. Cukup slime kecil yang tersenyum di tengah jalan, nyapa kamu dengan polos: “Gloop! Kamu baik‑baik aja, kan?”

Kalimat sederhana itu cukup buat ngajarin kenapa Dragon Quest masih bertahan hampir empat dekade: karena di dunia yang makin bising, kehangatan klasik justru terasa paling manusiawi.

Visited 3 times, 1 visit(s) today
[mc4wp_form id="5878"]
Close
Select the fields to be shown. Others will be hidden. Drag and drop to rearrange the order.
  • Image
  • SKU
  • Rating
  • Price
  • Stock
  • Availability
  • Add to cart
  • Description
  • Content
  • Weight
  • Dimensions
  • Additional information
Click outside to hide the comparison bar
Compare